Miskin Warna
weheartit.com |
Ketika kamu memasuki ruangan kerjanya, kamu akan menemukan ratusan
foto beraneka genre dan warna yang terpampang di dinding. Lampunya temaram,
membuat ruangan menjadi sendu. Apalagi ketika hujan turun dan meninggalkan
bercak air di kaca lebar samping kursi putar yang memperlihatkan pemandangan
kota. Ia tidak menyalakan pendingin ruangan karena hari ini suhu kota
Yogyakarta sedang dingin akibat turunnya hujan dari siang hari.
Geraldi merapikan hasil kerjanya hari ini. Foto-foto yang sudah ia
cetak dalam ukuran kecil dia kumpulkan sambil ia kurasi mana yang terbaik untuk
pamerannya minggu depan. Pamerannya yang kelima selama sepuluh tahun ia
bergelut di dunia fotografi, yang ia beri tema Prepare Your Dream.
Geraldi menghela napas. Dari hasil kurasinya, ia masih kurang sembilan foto
lagi untuk memenuhi kuota pameran yang ia adakan.
Tidak boleh main-main, Geraldi beranggapan pameran kali ini harus
memiliki nilai estetik dan pesan yang tinggi. Maka dari itu ia berusaha keras
untuk mengumpulkan foto terbaik yang ia hasilkan. Tangannya mengambil pena dan
ponsel, mencatat di selembar kertas kosong tempat-tempat yang akan ia kunjungi
besok hari untuk hunting foto. Matanya sayu, menahan kantuk yang mulai
menyerang. Ia masih harus terjaga padahal jam sudah menunjukkan pukul dua dini
hari.
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Panggilan masuk dari kekasihnya tiga
tahun terakhir. Geraldi segera mengangkat telepon tersebut. “Ya? Hallo?”
Suaranya parau, ia sangat mengantuk.
“Sayang, jemput aku.” Di seberang sana Anya mengerang manja,
seolah tidak sadar Geraldi bahkan terlalu capai bahkan untuk sekedang
mengangkat telepon.
“Kamu dimana? Kenapa jam segini masih di luar?” tanya Geraldi,
terselip rasa khawatir di sana.
“Temenku mengadakan pesta tapi aku ingin pulang sekarang. Aku
capai. Ayo, jemput sekarang.”
Geraldi menguap. “Aku pesankan taksi saja, ya? Aku ngantuk sekali.”
“Nggak mau! Aku maunya dijemput kamu. Ini jam dua pagi, yang.”
“Kamu tahu hari ini aku lembur. Aku ngantuk. Untuk sekali ini aku
pesenin taksi aja, ya?”
“Nggak! Tetep nggak mau! Pokoknya kamu jemput!” Tidak ada jawaban
dari Geraldi selama beberapa saat, Anya melanjutkan, “sayang... please.
Kamu nggak mau aku kenapa-kenapa ‘kan?”
Hati Geraldi tersenyuh. Ia selalu tidak bisa menolak permintaan
kekasihnya. Ia menyayanginya sepenuh hati walau ia menyadari seringkali ia
mengalah demi memenangkan sifat egois Anya. Geraldi akhirnya mengambil kunci
mobil serta dompet di atas meja. “Oke, aku berangkat,” katanya seraya menutup
panggilan telepon.
Suasana Jalan Monjali tidak terlalu ramai seperti saat siang hari.
Angkringan memenuhi sisi trotoar, sementara itu hanya ada beberapa pertokoan
yang masih buka. Geraldi melajukan mobilnya dengan kencang berharap secepatnya
melaksanakan tugas menjemput Anya dan kembali ke kamarnya yang nyaman. Badannya
sudah pegal, matanya sudah berat sampai dia merasa kalau saja ia mengedipkan
matanya sebentar, ia akan langsung jatuh tertidur.
Ternyata apa yang ia pikirkan menjadi kenyataan.
Mobil dengan kecepatan di atas rata-rata itu langsung oleng.
Geraldi panik, langsung bangun dari tidurnya. Tapi semua terlambat. Mobil yang
ia kemudikan menabrak mobil lain yang muncul dari arah kiri. Kecelakaan itu
langsung menimbulkan keramaian. Menciptakan suasana bertolak belakang dari
suasana Jalan Monjali sebelumnya.
***
Tidak ada kabar yang lebih buruk yang pernah menimpa Geraldi hari
ini, tepatnya enam hari setelah kecelakaan mobil yang dialaminya. Bukan. Bukan
karena pamerannya harus mundur dari jadwal yang telah ia tentukan. Ia bahkan
bisa merasa bersyukur apabila hal buruk yang ia dapatkan hanya itu saja.
Tiba-tiba Geraldi merasa sangat kesal setiap kali ia membuka mata
waktu bangun tidur, atau saat ia menjalankan kebiasaannya sebelum tidur yaitu
memandang dinding penuh foto tersebut. Ia bahkan tidak merasakan hatinya
bergetar lagi untuk memandang dunia dari lensa kamera. Ia seperti mati rasa. Ia
seperti kehilangannya hidupnya. Hal itu terjadi karena semua hal yang Geraldi lihat
hanya terdapat sedikit warna. Ia bahkan tidak bisa membedakan warna biru dan
hijau atau merah dan coklat. Geraldi kehilangan kemampuannya melihat warna.
Geraldi mengalami buta warna akibat benturan di pelipis saat kecelakaan terjadi.
Dengan menggunakan tongkat bantu jalan akibat kakinya dibebat,
Geraldi berjalan pelan ke arah meja kerjanya. Ia menemukan foto-foto terakhir
yang ia sudah kurasi beberapa hari lalu. Geraldi menggenggamnya, meremasnya
pelan dan diam-diam menitikkan air mata. Karirnya hancur. Pamerannya hancur.
Dunianya hancur. Ia tidak bisa memandang dunia dengan cara yang sama.
Tiba-tiba pintu di belakangnya berderit pelan, terbuka perlahan
dan menampilkan sosok wanita yang menahan isak tangis kala melihat wajah
Geraldi. Anya masuk ke dalam. Ia berjalan perlahan ke arah Geraldi yang diam
seperti patung. Dalam hitungan detik, Anya langsung memeluk laki-laki itu,
membenamkan wajahnya di dada bidang Geraldi. Hening beberapa saat. Cahaya sore
yang memancar dari jendela besar di ruangan itu menerpa mereka berdua,
menciptakan siluet dua orang yang tengah rapuh hatinya.
“Maaf....” Anya terisak. Tidak sanggup berbicara apa-apa selain
kata maaf yang bahkan tidak artinya sama sekali. Dirinya dipenuhi rasa
bersalah. Karenanya Geraldi menjadi mayat hidup sekarang.
Dengan sebelah tangan, Geraldi mengusap punggung Anya. Ia
sebenarnya tidak percaya Anya akan tetap menemuinya bahkan dengan kondisinya
yang seperti ini. Satu sisi ia kesal dan marah tapi sisi lain Geraldi merasa
terharu atas kehadiran perempuan yang ia kasihi itu. “Sudah, sudah. Tidak
apa-apa,” kata Geraldi menenangkan Anya juga dirinya.
Tiga tahun menjalin hubungan, Anya langsung mengetahui bahwa
Geraldi berbohong. Geraldi sebenarnya marah dan bisa saja menghempaskan Anya
dari hidupnya saat itu juga. Namun, lagi-lagi cinta dan kasih menutup amarah
Geraldi. Dia tetap menggenggam perempuan yang bahkan sudah menghancurkan
dunianya. Hal itu yang membuat Anya tambah terisak, perasaan bersalahnya kepada
Geraldi begitu besar tapi laki-laki itu masih begitu baik padanya.
***
Tidak ada batasan untuk berlaku kreatif bagi seseorang. Begitupula
Geraldi yang perlahan bangkit dari keterpurukannya. Mata itu kembali
memancarkan sinar pantang menyerah seperti saat Anya jatuh cinta pertama kali
kepadanya.
Ide pasti akan datang di tengah rumitnya seseorang berpikir untuk
mengembalikan kehidupan yang sebelumnya. Dan ketika ia sudah berusaha keluar
dari lubang keterpurukan, dirinya dapat menjadi seseorang yang bahkan lebih
baik lagi. Itulah kira-kira yang dialami oleh Geraldi.
Kamera ternyata bukan hanya temannya melainkan separuh hidupnya.
Dengan keadaan yang seperti ini Geraldi masih bisa menggunakan separuh hidupnya
untuk berkreasi dalam dunia fotografi. Ia kini mulai mencoba berkecimpung di
mode black and white photography. Miskin warna tapi sarat makna.
Hal itu bermula dari paksaan Anya agar Geraldi mulai membawa
kameranya kemanapun seperti sedia kala. Anya berhasil membujuknya saat mereka
kencan berdua ke Pantai Indrayanti walau hingga dua jam di pantai tersebut Geraldi
bahkan belum mengeluarkan kameranya dari tas.
Ombak berdebur. Bau asin dari laut yang terbawa angin menyeruak.
Anya asyik main air. Karang-karang mengelilinginya, menampilkan kilau-kilau
karena terpapar sinar matahari. Komposisi yang pas.
Geraldi mengeluarkan kamera dari tasnya. Ia kemudian mengatur
kamera tersebut ke black and white mode. Kameranya lalu diangkat,
hendak membidik Anya yang berdiri beberapa meter jauh di depan.
“Anya, coba ambil kerang dan bawa kemari!” teriak Geraldi sembari
bersiap-siap.
“Ini!” Anya langsung menoleh dengan semangat sambil menunjukkan
kerang yang ia bawa. Saat ia menyadari Geraldi hendak membidiknya dengan
kamera, hati Anya menghangat. Ia tersenyum lebar sampai matanya menyipit.
Ekspresi senang sekaligus terharu yang tidak ia bendung dan tidak ia buat-buat
berhasil terekam oleh kamera Geraldi.
***
Apa yang di balik pintu membuat semua orang terpana. Foto-foto
sarat makna terpampang dalam bingkai elegan berukuran besar. Ruangan itu tenang
meski banyak orang karena masing-masing dari mereka terkagum dalam diam sembari
memandangi foto bidikan si penyelenggara pameran. Suara hanya berasal dari
dentingan jam klasik di dinding yang menunjukkan pukul empat sore serta bisikan
pengunjung.
Geraldi Putra memang tidak diragukan lagi keahliannya dalam bidang
fotografi bahkan ketika dirinya sempat terpuruk dan mengalami kekurangan.
Foto-fotonya sarat akan nilai estetik dan makna. Di salah satu sisi dinding
dengan pencahayaan yang dibuat dramatis mungkin, terdapat satu bidikan foto yang
di-collage menjadi sembilan bagian bingkai. Foto yang ramai
dibisikkan pengunjung karena menjadi ikon dalam pameran ini. Foto yang
dipampang besar dan diberi judul Brighten Your Soul.
Anya sudah berdiri di depan foto tersebut selama beberapa menit.
Ia melihat dirinya sendiri dalam skala yang lebih besar tengah menggenggam
kerang sambil tersenyum bahagia ke arah kamera. Bukan. Sebenarnya bukan ke arah
kamera tersebut tapi ke arah si empunya kamera. Anya tersenyum tipis. Geraldi,
lelakinya telah bangkit dan menjadi sosok yang lebih kuat dari sebelumnya dan
itu membuatnya tidak bisa berhenti tersenyum. Perasaan bersalah
berangsur-angsur hilang dari hatinya, terlebih Geraldi sering kali meyakinkannya
bahwa ini bukan salah dirinya, melainkan sudah jalan takdir bagi Geraldi.
“Nggak bosen lihat ini terus?”
Suara dari belakang tiba-tiba mengagetkannya. Panjang umur, pikir
Anya. Baru saja ia membicarakan laki-laki itu di dalam pikirannya sendiri. Anya
menggeleng. “Aku suka,” jawabnya.
Geraldi balas tersenyum. “Minggu depan ayo kita agendakan untuk
berlibur buat perayaan karena baru saja ada investor yang menawarkan kerja sama
denganku.”
“Mau!!” Anya teriak kegirangan, membuat beberapa pasang mata langsung
menatap mereka heran. Perempuan itu langsung salah tingkah sedangkan kekasihnya
malah tertawa.
---
0 comments