Dibalik Lensa Cembung
weheartit.com |
“Sungguh
Fisika sangat menyebalkan. Aku bahkan tak bisa mengerjakannya sedikit pun,” Raga
mengambil penggarisnya yang berada tepat di dalam kotak pensilnya. Mengoreskan
pensilnya di atas kertas putih sehingga berbentuk satu garis lurus.
“Fisika sebenarnya mudah. Kau hanya
tinggal memainkan logikamu saja. Lihat rumusnya dibolak-balik.” Octa
menjelaskan sambil menunjuk rumus mencari jarak bayangan cermin cekung dengan
ibu jarinya.
“Lihat saja ini, kita ambil contoh
mudah. Kau tahu apa rumus
mencari jarak fokus atau titik api?” tanya Octa lagi sambil mengambil selembar
kertas bekas dari buku tulisnya dan sebuah pensil mekanik.
“Rumusnya? Ehmm. Satu per jarak fokus
sama dengan satu per jarak benda ditambah satu per jarak bayangan, benar
tidak?” Raga mengelus dagunya berharap jawabannya kali ini tepat.
“Tepat sekali. Itu dicari untuk
mendapatkan jarak fokus. Tapi untuk mendapatkan jarak bayangan bagaimana?” Raga
menggaruk kepalanya langsung mencorat-coret buku catatannya, berusaha mencari
jawaban.
“Humm.. satu per jarak bayangan sama
dengan satu per jarak fokus dikurang satu per jarak benda,” ujar Raga yakin
akan jawabannya sementara Octa hanya mengangguk tersenyum.
“Benar ini hanya bermain logika,” ujar Raga
kembali tersenyum. Sedetik kemudian ia kembali mengerjakan aktivitasnya,
menggambar bayangan cermin cekung.
***
Hari ini kelas VIII-A melakukan
percobaan dengan memakai lensa cembung. Murid-murid ditugaskan untuk mencari
sifat bayangan. Dengan berbekal perlengkapan yang sudah tersedia di laboratorium
sekolah, mereka mulai mencari sifat bayangan dari lensa cembung dan mengambil
kesimpulan dari tugas tersebut.
“Lihat dulu titik fokusnya berapa
panjangnya?” tanya Octa disaat sibuk mencatat hasil percobaannya.
“Fokusnya dimana?” Raga terlihat kebingungan.
Ia mencari-cari dimana letak titilk fokus berada. Di penggaris besi yang dibuat
landasan nihil, di tempat untuk menaruh lilin yang dijadikan sumber cahaya pun
nihil, apalagi di layar tempat penerima bayangan pasti tak ada.
“Tak ada?” tanya Octa saat melihat Raga
yang kebingungan mencari titik api atau fokus. Sedetik kemudian Octa terdiam,
lalu diambilnya lensa cembung yang asyik menancap pada penggaris besi.
“Nih ada! Fokusnya lima senti, kau harus benar-benar teliti Raga.” ujarnya
kemudian sambil menunjukkan angka lima puluh milli di atas lensa cembung.
Sementara Raga hanya menggelengkan kepala melihat sahabatnya yang sangat cerdas
di bidang fisika ini.
“Disini diberi kotak pertama kita harus
mencari jarak benda sesuai keinginan, lalu kita tinggal menentukan jarak
bayangan. Jika fokus dihitung dari jarak bayangan dan benda yang kita sesuaikan
sendiri hampir mendekati lima, maka percobaan kita berhasil. Paham?” Octa
mencoba menjelaskan maksud dari tugas yang diberi oleh Pak Thomas, guru
Fisikanya.
“Hm.. lumayan pahamlah,” ujar Raga masih
sedikit ragu. Ucapan Octa yang seperti professor itu masih sulit dicerna oleh
anak seusianya.
Octa mengambil sebuah lilin lalu
menyalakannya. Ditaruhnya lilin tersebut di tempat khusus menaruh lilin sebagai
sumber cahaya. Lalu digesernya tempat lilin itu ke arah angka tiga belas
centimeter. Raga mengerutkan kening, kedua alisnya terpaut satu sama lain.
“Kenapa di taruh di jarak tiga belas
centimeter?” tanya Raga kebingungan.
“Lensa cembung sama dengan cermin
cekung. Ingat tidak bagaimana menentukan sifat bayangan di cermin cekung?” Octa
bertanya balik menguji ingatan Raga. Raga mengetuk-ngetuk pensil mekaniknya ke
kepalanya. Sedetik kemudian ia tersenyum cerah.
“Jika bayangan di nomor ruang satu, dua,
tiga berarti sifatnya nyata terbalik, sedangkan jika bayangan di nomor ruang
empat maka sifatnya maya tegak.”
“Benar. Jika aku meletakkan lilin pada
jarak tiga belas berarti sama saja aku meletakkannya di antara nomor ruang
tiga. Karna nol sampai lima merupakan nomor ruang satu, lima sampai sepuluh
merupakan nomor ruang dua dan sepuluh sampai lima belas merupakan nomor ruang
tiga. Jadi tiga belas centimeter masuk ke dalam ruang nomor tiga.” Jelas Octa
dengan panjang lebar. Raga mengangguk paham.
“Jadi jika benda di nomor ruang tiga
maka otomatis bayangan di nomor ruang dua. Aku coba di angka delapan centi ya?”
ujar Raga senang sembari mengarahkan layar penangkap bayangan ke jarak delapan
centimeter. Terlihat disana bayangan yang ditimbulkan dari cahaya lilin
berbentuk terbalik dan kelihatan lebih kecil.
“Octa! Lihat! Berarti sifat bayangannya
adalah nyata, terbalik dan diperkecil bukan?” tanya Raga senang. Akhirnya
dengan mudah ia dapat mengerjakan tugas Fisika ini.
“Yup! Coba yang lain yah?!”
***
Raga berjalan dengan tergesa-gesa ke
kelasnya yang berada di lantai dua. Di tangan kirinya terselip sebuah lensa
cembung yang tampak bercahaya. Sungguh ia tak sabar ingin memberitahukan lensa
tersebut kepada Octa, sahabatnya.
“Octa, kemarilah!” Raga melambaikan tangannya
ketika di ambang pintu.
Octa yang merasa dirinya dipanggil
seseorang menoleh ke sumber suara. Raga terlihat sedang melambaikan tangannya
sambil menenteng lensa cembung di tangan kirinya. Merasa tertarik, Octa
berjalan mendekati Raga.
“Lihat dengan membayar lima ribu rupiah
ke seorang kakek tua, aku mendapatkan ini. Lumayan untuk kita belajar.” Raga
tersenyum lebar, sementara Octa langsung membawanya ke belakang kelas.
“Ayo coba! Aku membawa senter. Fokusnya
lihat! Lima puluh senti.” Octa kembali ke bangkunya, mengambil senter yang
berada di dalam tasnya. Kemudian ia mengambil sebuah meja dan
diletakkannya berjarak seratus empat
puluh centimeter di hadapan tembok bercat putih, tembok kelasnya. Tak lam
ditaruhnya lensa cembung itu di atas meja dengan disangga oleh sebatang kayu
agar berdiri tegak.
“Ini nol sampai lima puluh centimeter
merupakan nomor ruang bayangan satu aku beri tanda sepatuku di titik fokus.
Lima puluh sampai seratus centimeter merupakan nomor ruang bayangan dua, aku
beri tanda penggaris di jarak seratus centimeter. Dan seratus sampai seratus
empat puluh enam adalah nomor ruang bayangan tiga”
Raga mengamati Octa yang tengah sibuk
sendiri. Jujur ia ingin membantu sahabatnya tapi ia tak mengerti apa yang akan
dilakukan Octa.
“Lihat. Misalkan tembok sebagai
pengganti layar saat kita praktek mencari sifat bayangan kemarin. Tembok itu
berada di jarak seratus empat puluh centimeter terhadap lensa. Agar bayangan
dapat terlihat di tembok, maka kau
harus
menyinarkan lensa dengan senter di jarak berapa agar terlihat bayangannya? Oh, iya. Senter bentuknya adalah bulat pakai ini
agar mengetahui bayangan terbalik atau tidak.” ujar Octa panjang lebar sambil
mengusap pelipisnya yang basah oleh keringat dengan sapu tangan kesayangannya.
Sedetik kemudian ia mengambil kertas yang dibuat lubang berbentuk segitga dan
diberkannya kertas itu kepada Raga.
“Tembok berada di nomor ruang tiga,
berarti bayangan juga di ruang nomor tiga. Secara otomatis jika ingin
dihasilkan bayangan nyata maka benda berada di ruang nomor dua. Aku coba di
jarak enam puluh centimeter dari lensa.” ujar Raga langsung mengerti. Ia lalu
mengambil penggaris lalu diukurnya lantai hingga berjarak enam puluh
centimeter, diambilnya spidol dan digoreskannya spidol di lantai, menandai jarak
tersebut. Setelah selesai, ia berdiri di jarak tersebut sambil menyalakan
senter. Tak lupa kertas berlubang pemberian Octa ia taruh di depan senter.
“Tak ada bayangan,” gumamnya pelan.
“Coba mundur selangkah!” perintah Octa
sambil memegangi dagunya. Seketika senyumnya mengembang mendapati sebuah
bayangan senter di tembok dengan bentuk segitiga terbalik dan lebih besar dari
ukuran aslinya.
“Itu artinya?” Octa mengerling nakal ke
Raga.
“Percobaan berhasil! Bayangannya adalah
nyata, terbalik, diperbesar.”
“Benar! Sebentar lagi bel masuk, pulang
sekolah aku ingin mencoba sifat maya, tegak. Oke?”
“Sip!”
***
Bel pertanda pelajaran terakhir sudah
berbunyi sedari tadi. Tapi baik maupun Raga dan Octa masih asyik bereksperimen
di kelasnya. Kali ini mereka mencoba membuat bayangan dengan sifat maya dan
tegak. Octa meletakkan salah satu meja
berjarak seratus tujuh puluh lima centimeter terhadap tembok belakang kelasnya
seperti yang ia lakukan tadi pagi dengan jarak yang berbeda. Disangganya lensa
cembung Raga dengan sepatah kayu dan ditaruhnya di atas meja tersebut.
“Senterku mana?” tanya Octa seraya
mengulurkan tangannya.
“Ini!” Raga menaruh senter tersebut di
tangan Octa. Ia yang sudah paham akan apa yang dilakukan Octa kemudian langsung
mengambil penggaris mengukur jarak di lantai. Setelah diberi tanda dengan
spidol bewarna hitam, Raga beranjak berdiri membersihkan pakaian putihnya yang
kotor terkena debu lantai.
“Aku ambil angka tiga puluh delapan
centimeter terhadap tembok untuk benda yang berarti berada di nomor ruang satu.
Aku yakin bayangannya pasti maya.” Raga tersenyum lalu mempersilahkan Octa
untuk mencoba percobaannya kali ini.
Octa berjalan menuju tanda yang sudah
dibuat oleh Raga sambil menenteng senter. Dinyalakannya senter tersebut tepat
di depan lensa cembung itu. Tiba-tiba cahaya terang menyilaukan matanya. Terang
bahkan sangat terang, sehingga mengharuskan Octa menutup matanya begitu pula
Raga.
“Octa? Octa?” Raga panik ketika
mendapati Octa lenyap dari pandangannya.
Octa benar-benar menghilang. Raga kemudian
terdiam sebentar. Menarik nafas pelan untuk merilekskan emosi. Dilihatnya
tembok yang menjadi layar penangkap bayangan. Dirabanya tembok itu perlahan.
Tak ada bekas apapun. Hampir putus asa, Raga menyapukan pandangannya ke seluruh
penjuru kelas. Tiba-tiba tatapannya jatuh pada suatu benda yang menjadi alat
pokok percobaan ekstrimnya ini. Lensa cembung itu menyita perhatiannya. Lensa
itu menyala-nyala. Raga yang merasa takut dengan perlahan mendekati lensa itu.
Di dalam lensa itu ada Octa, sosok yang Raga kenal.
Disisi lain Octa seperti ingin menangis
tapi selalu diusap air matanya menggunakan sapu tangannya. Octa berjalan
mencari petunjuk agar ia bisa balik lagi ke dunianya. Entah mengapa di sini
begitu gelap, tak ada penerangan sama sekali. Ia sangat bersyukur karena sempat
memegang senter di tangannya, yang bermampu memberinya penerangan di malam
hari.
Tiba-tiba matanya menemukan sebuah rumah
kecil yang lucu. Berbentuk kubah dengan kaca sebagai pengganti bata untuk
dindingnya. Octa tersenyum tipis, coba kalau di sini ada saatnya pagi atau
siang, pasti mereka mati terpanggang dengan rumah kaca seperti itu.
Octa mengetuk pintu kaca rumah tersebut
beberapa kali. Tak lama, keluarlah sesosok anak perempuan sebayanya. Gadis itu
menatap Octa tanpa berkedip. Lalu dipeluknya Octa kuat-kuat. Octa yang kaget
langsung berusaha melepaskan pelukannya.
“Maaf telah membuatmu tak nyaman. Tolong
bantu aku, kumohon..” lirih gadis di depannya ini. Octa tersenyum tipis merasa
tak enak hati.
“Mari masuk ke dalam dulu! Panggil aku
Fariska saja,” ujar gadis yang dipanggil Fariska itu lalu mempersilahkannya
duduk di kursi kaca. Octa menyapukan pandangannya ke seluruh penjuru rumah unik
ini. Semua serba terbuat dari kaca. Dari mulai bangku, vas bunga dan sebagainya
sampai tempat sampah pun menggunakan kaca.
“Apakah kau tersesat di sini? Apakah kau melakukan percobaan dengan lensa itu dan
menyebabkan sifat bayangan yang terbentuk adalah maya?” Fariska melontarkan
berbagai pertanyaan kepada Octa. Octa terdiam, menarik nafas dalam. Jujur dalam
hati, ia merutuki dirinya sendiri. Ia berharap Raga masih di kelas dan berusaha
membantunya mengeluarkannya dari tempat terkutuk ini.
“Iya. Kau tahu bagaimana cara kita
keluar dari sini?” tanya Octa penasaran.
“Aku tahu. Dan ini satu-satunya cara.
Harus ada seseorang di luar sana yang mengetahui keberadaan kita. Dengan lensa
cembung itu ia harus mengarahkannya ke bawah sinar matahari dan harus tepat di
atas kepala kita berdua. Dengan begitu kita akan meleleh dan kembali ke dunia
kita,” ujar Fariska panjang lebar. Octa terdiam. Ia ingat masih ada Raga di
luar sana. Tapi ia tak yakin bahwa Raga masih berada di kelas.
“Ikut aku! Cepat!” Octa langsung menarik
tangan Fariska tanpa persetujuan sang empu-nya. Fariska yang bingung hanya
menuruti Octa dan mencoba mensejajarkan langkah Octa yang terbilang kencang.
Saat ini Octa dan Fariska berada di
tempat di mana tadi Octa muncul pertama kali. Octa menyalakan senternya dan
mengarahkannya ke langit-langit atas berharap di sana muncul sesuatu.
Disisi lain Raga yang sedang sibuk
mencari cara menyelamatkan Octa, melihat kilauan cahaya dari lensa cembung itu.
Dengan hati-hati ia melihat ke arah lensa cembung tersebut. Di sana terdapat
sosok Octa dan seorang gadis yang tak dikenalnya seperti mengatakan sesuatu.
Raga yang mendapat ide langsung lari ke arah tasnya lalu menyobek kertas dari
buku tulisnya dan mengambil sebuah pulpen. Di tuliskannya beberapa huruf agar
Octa mengerti maksudnya. Setelah selesai dibentangkannya tulisan itu di atas
lensa cembung, berharap Octa akan membacanya.
“Octa temanmu menuliskan sesuatu,
sepertinya ia tak mendengar apa yang ia katakan.” Fariska menyikut Octa yang
menoleh ke arah lain mencari sesuatu. Seketika Octa menoleh ke tulisan yang
terang akibat disinari senter oleh Fariska.
“Apa yang harus kulakukan?” Octa membaca
tulisan itu dengan cermat. Kemudian ia mengingat sesuatu, di sakunya masih
terdapat pulpen dan kertas bekas coretan Fisikanya tadi. Dengan gesit ia
menuliskan beberapa huruf lalu dibentangkannya tinggi-tinggi ke arah atas.
Sementara Fariska masih setia memegang senter untuk menyinari sosok Raga di
atas sana.
Disisi lain Raga masih sibuk memahami
tulisan di kertas yang dibentangkan oleh Octa. Terlalu kecil tulisan itu.
Lagi-lagi Raga menulis sesuatu di kertasnya lalu dengan segera ia hadapkan ke
lensa cembung itu.
“Tidak terlihat tulisannya?” Fariska
mengerutkan kening. Sementara Octa yang berada di sampingnya menepuk dahinya
pelan.
“Aku lupa jaraknya sangat jauh dari sini
ke atas sana. Kau punya lup dan tangga?” tanya Octa yang langsung mendapatkan
ide. Fariska mengangguk dan memberikan senternya kepada Octa. Tak lama Fariska
kembali dengan membawa tangga dan sebuah lup.
Dengan gesit Octa mengambil tangga dan
lup tersebut, sementara senternya ia serahkan kembali kapada Fariska. Octa
sesegera mungkin menaiki tangga yang sudah dipegangi oleh Fariska dari bawah.
Dengan tangan kiri yang memegang kertas dan tangan kanan yang memegang lup ia
berdiri di atas tangga. Sedetik kemudian ia membentangkan kertas tersebut dan menaruh lup di depan kertas, bertujuan
untuk membesarkan tulisannya. Ia kemudian menggerakkan bibirnya seraya berkata
‘Ayo baca!’.
Disisi lain Raga yang sudah mengerti
akan maksud Octa mulai membaca tulisan yang terpampang jelas. Setelah paham apa
maksudnya ia mengangguk sambil mengacungkan ibu jarinya. Dibawanya lensa
cembung itu keluar kelas, bermaksud menuju lapangan sekolah.
“Sekarang aku tahu maksud dari Octa.
Lensa cembung sama dengan cermin cekung. Cermin cekung memiliki sifat konvergen
atau mengumpulkan cahaya. Cahaya dari matahari akan dikumpulkan ke lensa
cembung dan akan menembus lalu akan membakar kertas ini. Jika kertas ini habis
terbakar, maka Octa dan temannya secara bersamaan akan meleleh dan kembali
menuju dunia nyata. Kertas ini menjadi petunjuk waktu saat Octa dan temannya
benar-benar meleleh.” Raga tersenyum tipis, tak disangkanya ia yang begitu
bodoh Fisika langsung bisa paham apa yang dimaksud oleh Octa.
Dengan cekatan ia memilih posisi letak
lensa cembung itu agar tepat terkena sinar matahari. Diambilnya kertas yang
berada di sakunya setelah posisi lensa benar-benar tepat, lalu ditaruhnya
kertas tersebut di bawah lensa. Terbakar. Kali ini usahanya tak sia-sia walau
keringat deras bercucuran di badannya dan hampir saja membuat lensa cembung itu
terjatuh.
Disisi lain Octa dan Fariska sedang
menunggu dirinya meleleh oleh cahaya matahari. Fariska yang sedaritadi terus
mengulum senyum langsung memeluk erat Octa. Octa sempat kaget tapi ia langsung
membalas erat pelukan Fariska. “Terimakasih!” lirih Fariska pelan.
PRANGG!!!
Octa dan Fariska terperanjat kaget
ketika cahaya matahari meredup. Seketika Octa melepaskan pelukannya, diambilnya
senter yang tergeletak manis di tanah, lalu diarahkannya ke atas tempat sosok
Raga. Bulatan cerah dilangit itu kini hancur berantakan.
“Lensanya pecah,” ucap Octa pasrah.
Seketika Fariska menunduk, ia menangis.
“Kau bohong! Ini tak mungkin terjadi!
Bagaimana dengan kita?” Fariska sekarang hanya bisa pasrah. Ia sudah amat
sangat merindukan keluarganya. Jika ia terus berlama-lama di sini, kemungkinan
besar ia akan mulai terbiasa dan dapat melupakan asal-usulnya. Ia tak pernah
mau menginginkan itu. Octa yang melihatnya ikut bersedih. Tapi ia tak kehabisan
akal. Ia mempunyai ide baru.
“Kudengar cermin di sini bisa menghisap
semua cahaya dan hanya diteruskan menjadi satu garis lurus saja. Kau punya
cermin cekung?” tanya Octa tiba-tiba. Fariska terdiam menghentikan tangisnya
lalu menatap Octa penuh harap.
“Punya. Akan kuambil!” jawabnya lalu
segera berlari menuju rumahnya.
Octa memerhatikan pecahan lensa cembung
dengan seksama di atas sana. Cahaya yang awalnya berkumpul menjadi satu kini
berhamburan kemana-mana. Masing-masing pecahan mempunyai satu garis lurus
cahaya sendiri. Walau di gunakan oleh Octa dan Fariska, cahaya itu tak kan
mampu melelehkan mereka berdua. Tiba-tiba satu pecahan hilang. Octa sangat
yakin satu pecahan itu di ambil oleh Raga yang sudah panik karena lensa cembung
itu pecah karena ulahnya.
Disisi lain Raga dengan gemetaran
mengambil satu persatu pecahan lensa cembung itu. Ia merutuki kebodohannya
sendiri yang memecahkan lensa itu akibat tangannya yang licin karena keringat. Raga jangan kauambil pecahan itu, biarkan
seperti semula!. Raga menelan ludah. Sepertinya Octa berteriak sekuat
tenaga agar suaranya terdengar oleh Raga. Raga yang sudah tak mau menanggung
kesalahan lagi langsung menaruh pecahan itu ke tempat semula. Ia berdoa dalam
hati agar Octa dapat kembali ke dunia nyata.
Octa yang sudah berteriak kencang kini
menghembuskan nafas lega. Ia bersyukur Raga dapat mendengar suaranya. Tak lama
Fariska datang sambil menenteng sebuah cermin cekung yang kira-kira
berjari-jari sepuluh centimeter. Diberikannya cermin itu kepada Octa.
“Kau terus pegang tanganku. Kalau perlu
kau boleh memeluk tubuhku,” Setelah mendapat titah dari Octa, Fariska mulai
mendekat dan memeluk tubuh Octa. Sedangkan Octa mengangkat tinggi-tinggi cermin
cekung itu.
“Tutup mata!” perintah Octa. Fariska
mengangguk lalu menutup matanya begitu juga dengat Octa. “Cermin cekung
bersifat konvergen, ia dapat mengumpulkan cahaya.” ujar Octa kemudian.
Seketika cahaya yang terpancar dari
pecahan lensa cembung itu meresap hebat dan saling bergerumul menjadi satu di cermin
cekung unik milik Fariska, kemudian diteruskan menjadi satu garis lurus ke
dirinya dan Octa. Tak usah menunggu lama, tubuh Octa dan Fariska mulai meleleh
dan sedetik kemudian menghilang.
Raga sedari tadi berjalan mondar-mandir.
Hatinya sangat gelisah. Ia sangat takut jika sesuatu terjadi pada sahabatnya,
Octa. Keringat karena sinar matahari di badannya seketika berubah menjadi
keringat dingin.
“Raga!” Raga menoleh ke sumber suara
ketika seseorang memanggil namanya. Octa dan gadis yang tak di kenalnya sedang
berada di tangga hendak ke arahnya.
“Syukurlah! Kau selamat! Dan siapa ini?”
Raga menghembuskan nafas lega lalu mendelik heran.
“Dia sama sepertiku tersesat di negeri
aneh. Fariska,” ujar Octa sambil menunjukkan Fariska dengan dagunya, sementara
Fariska hanya tersenyum malu.
“Raga. Salam kenal!” ucap Raga
memperkenalkan diri.
“Uhm.. baiklah kebetulan rumahku dekat
sini, aku pamit duluan ya!” Fariska pamit kepada Octa dan Raga. Sedetik
kemudian ia mulai beranjak pergi.
“Tak mau kuantar?” Raga teriak
disela-sela kepergian Fariska.
“Tidak usah. Terimakasih!” jawab Fariska
dengan berteriak juga. Sementara Raga hanya mengerucutkan bibir.
“Kau menyukainya?” Octa mengerling nakal
ke arah Raga. Disikutnya Raga berkali-kali.
“Tidak. Aku hanya penasaran dengan kaca
di samping mata kirinya,” gumam Raga tanpa memerhatikan wajah Octa.
“Maksudmu?” tanya Octa penasaran. Ia
memegang bahu Raga, bermaksud menyuruhnya menatap mukanya.
“Tadi aku melihat ada sekeping kaca di
sebelah mata kirinya,”
Octa tambah penasaran. Ia mengerutkan
kening, sehingga membuat kedua alisnya bertautan.
“Sudahlah lupakan saja! Toh yang penting
kau selamat bukan?” Raga tersenyum santai. Di sampingnya, Octa hanya mengangguk
pelan walau di hatinya terselip rasa penasaran yang mencuat.
“Kita pulang! Besok aku butuh bantuan
untuk Fisika,”
“Stop! Jangan membicarakan Fisika dulu.
Aku pusing!”
Raga terkekeh geli mendengar ucapan yang
terlontar dari mulut Octa. Sangat diluar dugaannya Octa akan berbicara seperti
itu. Sepintar-pintar Octa, Raga yakin ia bisa pusing dengan Fisika.
Selesai
0 comments