Dibalik Lensa Cembung

by - 2/09/2017 05:30:00 AM

weheartit.com
 “Sungguh Fisika sangat menyebalkan. Aku bahkan tak bisa mengerjakannya sedikit pun,” Raga mengambil penggarisnya yang berada tepat di dalam kotak pensilnya. Mengoreskan pensilnya di atas kertas putih sehingga berbentuk satu garis lurus.
“Fisika sebenarnya mudah. Kau hanya tinggal memainkan logikamu saja. Lihat rumusnya dibolak-balik.” Octa menjelaskan sambil menunjuk rumus mencari jarak bayangan cermin cekung dengan ibu jarinya.
“Lihat saja ini, kita ambil contoh mudah. Kau tahu apa rumus mencari jarak fokus atau titik api?” tanya Octa lagi sambil mengambil selembar kertas bekas dari buku tulisnya dan sebuah pensil mekanik.
“Rumusnya? Ehmm. Satu per jarak fokus sama dengan satu per jarak benda ditambah satu per jarak bayangan, benar tidak?” Raga mengelus dagunya berharap jawabannya kali ini tepat.
“Tepat sekali. Itu dicari untuk mendapatkan jarak fokus. Tapi untuk mendapatkan jarak bayangan bagaimana?” Raga menggaruk kepalanya langsung mencorat-coret buku catatannya, berusaha mencari jawaban.
“Humm.. satu per jarak bayangan sama dengan satu per jarak fokus dikurang satu per jarak benda,” ujar Raga yakin akan jawabannya sementara Octa hanya mengangguk tersenyum.
“Benar ini hanya bermain logika,” ujar Raga kembali tersenyum. Sedetik kemudian ia kembali mengerjakan aktivitasnya, menggambar bayangan cermin cekung.

***
Hari ini kelas VIII-A melakukan percobaan dengan memakai lensa cembung. Murid-murid ditugaskan untuk mencari sifat bayangan. Dengan berbekal perlengkapan yang sudah tersedia di laboratorium sekolah, mereka mulai mencari sifat bayangan dari lensa cembung dan mengambil kesimpulan dari tugas tersebut.
“Lihat dulu titik fokusnya berapa panjangnya?” tanya Octa disaat sibuk mencatat hasil percobaannya.
“Fokusnya dimana?” Raga terlihat kebingungan. Ia mencari-cari dimana letak titilk fokus berada. Di penggaris besi yang dibuat landasan nihil, di tempat untuk menaruh lilin yang dijadikan sumber cahaya pun nihil, apalagi di layar tempat penerima bayangan pasti tak ada.
“Tak ada?” tanya Octa saat melihat Raga yang kebingungan mencari titik api atau fokus. Sedetik kemudian Octa terdiam, lalu diambilnya lensa cembung yang asyik menancap pada penggaris besi.
“Nih ada! Fokusnya lima senti, kau harus benar-benar teliti Raga.” ujarnya kemudian sambil menunjukkan angka lima puluh milli di atas lensa cembung. Sementara Raga hanya menggelengkan kepala melihat sahabatnya yang sangat cerdas di bidang fisika ini.
“Disini diberi kotak pertama kita harus mencari jarak benda sesuai keinginan, lalu kita tinggal menentukan jarak bayangan. Jika fokus dihitung dari jarak bayangan dan benda yang kita sesuaikan sendiri hampir mendekati lima, maka percobaan kita berhasil. Paham?” Octa mencoba menjelaskan maksud dari tugas yang diberi oleh Pak Thomas, guru Fisikanya.
“Hm.. lumayan pahamlah,” ujar Raga masih sedikit ragu. Ucapan Octa yang seperti professor itu masih sulit dicerna oleh anak seusianya.
Octa mengambil sebuah lilin lalu menyalakannya. Ditaruhnya lilin tersebut di tempat khusus menaruh lilin sebagai sumber cahaya. Lalu digesernya tempat lilin itu ke arah angka tiga belas centimeter. Raga mengerutkan kening, kedua alisnya terpaut satu sama lain.
“Kenapa di taruh di jarak tiga belas centimeter?” tanya Raga kebingungan.
“Lensa cembung sama dengan cermin cekung. Ingat tidak bagaimana menentukan sifat bayangan di cermin cekung?” Octa bertanya balik menguji ingatan Raga. Raga mengetuk-ngetuk pensil mekaniknya ke kepalanya. Sedetik kemudian ia tersenyum cerah.
“Jika bayangan di nomor ruang satu, dua, tiga berarti sifatnya nyata terbalik, sedangkan jika bayangan di nomor ruang empat maka sifatnya maya tegak.”
“Benar. Jika aku meletakkan lilin pada jarak tiga belas berarti sama saja aku meletakkannya di antara nomor ruang tiga. Karna nol sampai lima merupakan nomor ruang satu, lima sampai sepuluh merupakan nomor ruang dua dan sepuluh sampai lima belas merupakan nomor ruang tiga. Jadi tiga belas centimeter masuk ke dalam ruang nomor tiga.” Jelas Octa dengan panjang lebar. Raga mengangguk paham.
“Jadi jika benda di nomor ruang tiga maka otomatis bayangan di nomor ruang dua. Aku coba di angka delapan centi ya?” ujar Raga senang sembari mengarahkan layar penangkap bayangan ke jarak delapan centimeter. Terlihat disana bayangan yang ditimbulkan dari cahaya lilin berbentuk terbalik dan kelihatan lebih kecil.
“Octa! Lihat! Berarti sifat bayangannya adalah nyata, terbalik dan diperkecil bukan?” tanya Raga senang. Akhirnya dengan mudah ia dapat mengerjakan tugas Fisika ini.
“Yup! Coba yang lain yah?!”

***

Raga berjalan dengan tergesa-gesa ke kelasnya yang berada di lantai dua. Di tangan kirinya terselip sebuah lensa cembung yang tampak bercahaya. Sungguh ia tak sabar ingin memberitahukan lensa tersebut kepada Octa, sahabatnya.
“Octa, kemarilah!” Raga melambaikan tangannya ketika di ambang pintu.
Octa yang merasa dirinya dipanggil seseorang menoleh ke sumber suara. Raga terlihat sedang melambaikan tangannya sambil menenteng lensa cembung di tangan kirinya. Merasa tertarik, Octa berjalan mendekati Raga.
“Lihat dengan membayar lima ribu rupiah ke seorang kakek tua, aku mendapatkan ini. Lumayan untuk kita belajar.” Raga tersenyum lebar, sementara Octa langsung membawanya ke belakang kelas.
“Ayo coba! Aku membawa senter. Fokusnya lihat! Lima puluh senti.” Octa kembali ke bangkunya, mengambil senter yang berada di dalam tasnya. Kemudian ia mengambil sebuah meja dan diletakkannya  berjarak seratus empat puluh centimeter di hadapan tembok bercat putih, tembok kelasnya. Tak lam ditaruhnya lensa cembung itu di atas meja dengan disangga oleh sebatang kayu agar berdiri tegak.
“Ini nol sampai lima puluh centimeter merupakan nomor ruang bayangan satu aku beri tanda sepatuku di titik fokus. Lima puluh sampai seratus centimeter merupakan nomor ruang bayangan dua, aku beri tanda penggaris di jarak seratus centimeter. Dan seratus sampai seratus empat puluh enam adalah nomor ruang bayangan tiga”
Raga mengamati Octa yang tengah sibuk sendiri. Jujur ia ingin membantu sahabatnya tapi ia tak mengerti apa yang akan dilakukan Octa.
“Lihat. Misalkan tembok sebagai pengganti layar saat kita praktek mencari sifat bayangan kemarin. Tembok itu berada di jarak seratus empat puluh centimeter terhadap lensa. Agar bayangan dapat terlihat di tembok, maka kau harus menyinarkan lensa dengan senter di jarak berapa agar terlihat bayangannya? Oh, iya. Senter bentuknya adalah bulat pakai ini agar mengetahui bayangan terbalik atau tidak.” ujar Octa panjang lebar sambil mengusap pelipisnya yang basah oleh keringat dengan sapu tangan kesayangannya. Sedetik kemudian ia mengambil kertas yang dibuat lubang berbentuk segitga dan diberkannya kertas itu kepada Raga.
“Tembok berada di nomor ruang tiga, berarti bayangan juga di ruang nomor tiga. Secara otomatis jika ingin dihasilkan bayangan nyata maka benda berada di ruang nomor dua. Aku coba di jarak enam puluh centimeter dari lensa.” ujar Raga langsung mengerti. Ia lalu mengambil penggaris lalu diukurnya lantai hingga berjarak enam puluh centimeter, diambilnya spidol dan digoreskannya spidol di lantai, menandai jarak tersebut. Setelah selesai, ia berdiri di jarak tersebut sambil menyalakan senter. Tak lupa kertas berlubang pemberian Octa ia taruh di depan senter.
“Tak ada bayangan,” gumamnya pelan.
“Coba mundur selangkah!” perintah Octa sambil memegangi dagunya. Seketika senyumnya mengembang mendapati sebuah bayangan senter di tembok dengan bentuk segitiga terbalik dan lebih besar dari ukuran aslinya.
“Itu artinya?” Octa mengerling nakal ke Raga.
“Percobaan berhasil! Bayangannya adalah nyata, terbalik, diperbesar.”
“Benar! Sebentar lagi bel masuk, pulang sekolah aku ingin mencoba sifat maya, tegak. Oke?”
“Sip!”

***

Bel pertanda pelajaran terakhir sudah berbunyi sedari tadi. Tapi baik maupun Raga dan Octa masih asyik bereksperimen di kelasnya. Kali ini mereka mencoba membuat bayangan dengan sifat maya dan tegak. Octa meletakkan  salah satu meja berjarak seratus tujuh puluh lima centimeter terhadap tembok belakang kelasnya seperti yang ia lakukan tadi pagi dengan jarak yang berbeda. Disangganya lensa cembung Raga dengan sepatah kayu dan ditaruhnya di atas meja tersebut.
“Senterku mana?” tanya Octa seraya mengulurkan tangannya.
“Ini!” Raga menaruh senter tersebut di tangan Octa. Ia yang sudah paham akan apa yang dilakukan Octa kemudian langsung mengambil penggaris mengukur jarak di lantai. Setelah diberi tanda dengan spidol bewarna hitam, Raga beranjak berdiri membersihkan pakaian putihnya yang kotor terkena debu lantai.
“Aku ambil angka tiga puluh delapan centimeter terhadap tembok untuk benda yang berarti berada di nomor ruang satu. Aku yakin bayangannya pasti maya.” Raga tersenyum lalu mempersilahkan Octa untuk mencoba percobaannya kali ini.
Octa berjalan menuju tanda yang sudah dibuat oleh Raga sambil menenteng senter. Dinyalakannya senter tersebut tepat di depan lensa cembung itu. Tiba-tiba cahaya terang menyilaukan matanya. Terang bahkan sangat terang, sehingga mengharuskan Octa menutup matanya begitu pula Raga.
“Octa? Octa?” Raga panik ketika mendapati Octa lenyap dari pandangannya.
Octa benar-benar menghilang. Raga kemudian terdiam sebentar. Menarik nafas pelan untuk merilekskan emosi. Dilihatnya tembok yang menjadi layar penangkap bayangan. Dirabanya tembok itu perlahan. Tak ada bekas apapun. Hampir putus asa, Raga menyapukan pandangannya ke seluruh penjuru kelas. Tiba-tiba tatapannya jatuh pada suatu benda yang menjadi alat pokok percobaan ekstrimnya ini. Lensa cembung itu menyita perhatiannya. Lensa itu menyala-nyala. Raga yang merasa takut dengan perlahan mendekati lensa itu. Di dalam lensa itu ada Octa, sosok yang Raga kenal.
Disisi lain Octa seperti ingin menangis tapi selalu diusap air matanya menggunakan sapu tangannya. Octa berjalan mencari petunjuk agar ia bisa balik lagi ke dunianya. Entah mengapa di sini begitu gelap, tak ada penerangan sama sekali. Ia sangat bersyukur karena sempat memegang senter di tangannya, yang bermampu memberinya penerangan di malam hari.
Tiba-tiba matanya menemukan sebuah rumah kecil yang lucu. Berbentuk kubah dengan kaca sebagai pengganti bata untuk dindingnya. Octa tersenyum tipis, coba kalau di sini ada saatnya pagi atau siang, pasti mereka mati terpanggang dengan rumah kaca seperti itu.
Octa mengetuk pintu kaca rumah tersebut beberapa kali. Tak lama, keluarlah sesosok anak perempuan sebayanya. Gadis itu menatap Octa tanpa berkedip. Lalu dipeluknya Octa kuat-kuat. Octa yang kaget langsung berusaha melepaskan pelukannya.
“Maaf telah membuatmu tak nyaman. Tolong bantu aku, kumohon..” lirih gadis di depannya ini. Octa tersenyum tipis merasa tak enak hati.
“Mari masuk ke dalam dulu! Panggil aku Fariska saja,” ujar gadis yang dipanggil Fariska itu lalu mempersilahkannya duduk di kursi kaca. Octa menyapukan pandangannya ke seluruh penjuru rumah unik ini. Semua serba terbuat dari kaca. Dari mulai bangku, vas bunga dan sebagainya sampai tempat sampah pun menggunakan kaca.
“Apakah kau tersesat di sini? Apakah kau melakukan percobaan dengan lensa itu dan menyebabkan sifat bayangan yang terbentuk adalah maya?” Fariska melontarkan berbagai pertanyaan kepada Octa. Octa terdiam, menarik nafas dalam. Jujur dalam hati, ia merutuki dirinya sendiri. Ia berharap Raga masih di kelas dan berusaha membantunya mengeluarkannya dari tempat terkutuk ini.
“Iya. Kau tahu bagaimana cara kita keluar dari sini?” tanya Octa penasaran.
“Aku tahu. Dan ini satu-satunya cara. Harus ada seseorang di luar sana yang mengetahui keberadaan kita. Dengan lensa cembung itu ia harus mengarahkannya ke bawah sinar matahari dan harus tepat di atas kepala kita berdua. Dengan begitu kita akan meleleh dan kembali ke dunia kita,” ujar Fariska panjang lebar. Octa terdiam. Ia ingat masih ada Raga di luar sana. Tapi ia tak yakin bahwa Raga masih berada di kelas.
“Ikut aku! Cepat!” Octa langsung menarik tangan Fariska tanpa persetujuan sang empu-nya. Fariska yang bingung hanya menuruti Octa dan mencoba mensejajarkan langkah Octa yang terbilang kencang.
Saat ini Octa dan Fariska berada di tempat di mana tadi Octa muncul pertama kali. Octa menyalakan senternya dan mengarahkannya ke langit-langit atas berharap di sana muncul sesuatu.
Disisi lain Raga yang sedang sibuk mencari cara menyelamatkan Octa, melihat kilauan cahaya dari lensa cembung itu. Dengan hati-hati ia melihat ke arah lensa cembung tersebut. Di sana terdapat sosok Octa dan seorang gadis yang tak dikenalnya seperti mengatakan sesuatu. Raga yang mendapat ide langsung lari ke arah tasnya lalu menyobek kertas dari buku tulisnya dan mengambil sebuah pulpen. Di tuliskannya beberapa huruf agar Octa mengerti maksudnya. Setelah selesai dibentangkannya tulisan itu di atas lensa cembung, berharap Octa akan membacanya.
“Octa temanmu menuliskan sesuatu, sepertinya ia tak mendengar apa yang ia katakan.” Fariska menyikut Octa yang menoleh ke arah lain mencari sesuatu. Seketika Octa menoleh ke tulisan yang terang akibat disinari senter oleh Fariska.
“Apa yang harus kulakukan?” Octa membaca tulisan itu dengan cermat. Kemudian ia mengingat sesuatu, di sakunya masih terdapat pulpen dan kertas bekas coretan Fisikanya tadi. Dengan gesit ia menuliskan beberapa huruf lalu dibentangkannya tinggi-tinggi ke arah atas. Sementara Fariska masih setia memegang senter untuk menyinari sosok Raga di atas sana.
Disisi lain Raga masih sibuk memahami tulisan di kertas yang dibentangkan oleh Octa. Terlalu kecil tulisan itu. Lagi-lagi Raga menulis sesuatu di kertasnya lalu dengan segera ia hadapkan ke lensa cembung itu.
“Tidak terlihat tulisannya?” Fariska mengerutkan kening. Sementara Octa yang berada di sampingnya menepuk dahinya pelan.
“Aku lupa jaraknya sangat jauh dari sini ke atas sana. Kau punya lup dan tangga?” tanya Octa yang langsung mendapatkan ide. Fariska mengangguk dan memberikan senternya kepada Octa. Tak lama Fariska kembali dengan membawa tangga dan sebuah lup.
Dengan gesit Octa mengambil tangga dan lup tersebut, sementara senternya ia serahkan kembali kapada Fariska. Octa sesegera mungkin menaiki tangga yang sudah dipegangi oleh Fariska dari bawah. Dengan tangan kiri yang memegang kertas dan tangan kanan yang memegang lup ia berdiri di atas tangga. Sedetik kemudian ia membentangkan kertas tersebut  dan menaruh lup di depan kertas, bertujuan untuk membesarkan tulisannya. Ia kemudian menggerakkan bibirnya seraya berkata ‘Ayo baca!’.
Disisi lain Raga yang sudah mengerti akan maksud Octa mulai membaca tulisan yang terpampang jelas. Setelah paham apa maksudnya ia mengangguk sambil mengacungkan ibu jarinya. Dibawanya lensa cembung itu keluar kelas, bermaksud menuju lapangan sekolah.
“Sekarang aku tahu maksud dari Octa. Lensa cembung sama dengan cermin cekung. Cermin cekung memiliki sifat konvergen atau mengumpulkan cahaya. Cahaya dari matahari akan dikumpulkan ke lensa cembung dan akan menembus lalu akan membakar kertas ini. Jika kertas ini habis terbakar, maka Octa dan temannya secara bersamaan akan meleleh dan kembali menuju dunia nyata. Kertas ini menjadi petunjuk waktu saat Octa dan temannya benar-benar meleleh.” Raga tersenyum tipis, tak disangkanya ia yang begitu bodoh Fisika langsung bisa paham apa yang dimaksud oleh Octa.
Dengan cekatan ia memilih posisi letak lensa cembung itu agar tepat terkena sinar matahari. Diambilnya kertas yang berada di sakunya setelah posisi lensa benar-benar tepat, lalu ditaruhnya kertas tersebut di bawah lensa. Terbakar. Kali ini usahanya tak sia-sia walau keringat deras bercucuran di badannya dan hampir saja membuat lensa cembung itu terjatuh.
Disisi lain Octa dan Fariska sedang menunggu dirinya meleleh oleh cahaya matahari. Fariska yang sedaritadi terus mengulum senyum langsung memeluk erat Octa. Octa sempat kaget tapi ia langsung membalas erat pelukan Fariska. “Terimakasih!” lirih Fariska pelan.
PRANGG!!!
Octa dan Fariska terperanjat kaget ketika cahaya matahari meredup. Seketika Octa melepaskan pelukannya, diambilnya senter yang tergeletak manis di tanah, lalu diarahkannya ke atas tempat sosok Raga. Bulatan cerah dilangit itu kini hancur berantakan.
“Lensanya pecah,” ucap Octa pasrah. Seketika Fariska menunduk, ia menangis.
“Kau bohong! Ini tak mungkin terjadi! Bagaimana dengan kita?” Fariska sekarang hanya bisa pasrah. Ia sudah amat sangat merindukan keluarganya. Jika ia terus berlama-lama di sini, kemungkinan besar ia akan mulai terbiasa dan dapat melupakan asal-usulnya. Ia tak pernah mau menginginkan itu. Octa yang melihatnya ikut bersedih. Tapi ia tak kehabisan akal. Ia mempunyai ide baru.
“Kudengar cermin di sini bisa menghisap semua cahaya dan hanya diteruskan menjadi satu garis lurus saja. Kau punya cermin cekung?” tanya Octa tiba-tiba. Fariska terdiam menghentikan tangisnya lalu menatap Octa penuh harap.
“Punya. Akan kuambil!” jawabnya lalu segera berlari menuju rumahnya.
Octa memerhatikan pecahan lensa cembung dengan seksama di atas sana. Cahaya yang awalnya berkumpul menjadi satu kini berhamburan kemana-mana. Masing-masing pecahan mempunyai satu garis lurus cahaya sendiri. Walau di gunakan oleh Octa dan Fariska, cahaya itu tak kan mampu melelehkan mereka berdua. Tiba-tiba satu pecahan hilang. Octa sangat yakin satu pecahan itu di ambil oleh Raga yang sudah panik karena lensa cembung itu pecah karena ulahnya.
Disisi lain Raga dengan gemetaran mengambil satu persatu pecahan lensa cembung itu. Ia merutuki kebodohannya sendiri yang memecahkan lensa itu akibat tangannya yang licin karena keringat. Raga jangan kauambil pecahan itu, biarkan seperti semula!. Raga menelan ludah. Sepertinya Octa berteriak sekuat tenaga agar suaranya terdengar oleh Raga. Raga yang sudah tak mau menanggung kesalahan lagi langsung menaruh pecahan itu ke tempat semula. Ia berdoa dalam hati agar Octa dapat kembali ke dunia nyata.
Octa yang sudah berteriak kencang kini menghembuskan nafas lega. Ia bersyukur Raga dapat mendengar suaranya. Tak lama Fariska datang sambil menenteng sebuah cermin cekung yang kira-kira berjari-jari sepuluh centimeter. Diberikannya cermin itu kepada Octa.
“Kau terus pegang tanganku. Kalau perlu kau boleh memeluk tubuhku,” Setelah mendapat titah dari Octa, Fariska mulai mendekat dan memeluk tubuh Octa. Sedangkan Octa mengangkat tinggi-tinggi cermin cekung itu.
“Tutup mata!” perintah Octa. Fariska mengangguk lalu menutup matanya begitu juga dengat Octa. “Cermin cekung bersifat konvergen, ia dapat mengumpulkan cahaya.” ujar Octa kemudian.
Seketika cahaya yang terpancar dari pecahan lensa cembung itu meresap hebat dan saling bergerumul menjadi satu di cermin cekung unik milik Fariska, kemudian diteruskan menjadi satu garis lurus ke dirinya dan Octa. Tak usah menunggu lama, tubuh Octa dan Fariska mulai meleleh dan sedetik kemudian menghilang.
Raga sedari tadi berjalan mondar-mandir. Hatinya sangat gelisah. Ia sangat takut jika sesuatu terjadi pada sahabatnya, Octa. Keringat karena sinar matahari di badannya seketika berubah menjadi keringat dingin.
“Raga!” Raga menoleh ke sumber suara ketika seseorang memanggil namanya. Octa dan gadis yang tak di kenalnya sedang berada di tangga hendak ke arahnya.
“Syukurlah! Kau selamat! Dan siapa ini?” Raga menghembuskan nafas lega lalu mendelik heran.
“Dia sama sepertiku tersesat di negeri aneh. Fariska,” ujar Octa sambil menunjukkan Fariska dengan dagunya, sementara Fariska hanya tersenyum malu.
“Raga. Salam kenal!” ucap Raga memperkenalkan diri.
“Uhm.. baiklah kebetulan rumahku dekat sini, aku pamit duluan ya!” Fariska pamit kepada Octa dan Raga. Sedetik kemudian ia mulai beranjak pergi.
“Tak mau kuantar?” Raga teriak disela-sela kepergian Fariska.
“Tidak usah. Terimakasih!” jawab Fariska dengan berteriak juga. Sementara Raga hanya mengerucutkan bibir.
“Kau menyukainya?” Octa mengerling nakal ke arah Raga. Disikutnya Raga berkali-kali.
“Tidak. Aku hanya penasaran dengan kaca di samping mata kirinya,” gumam Raga tanpa memerhatikan wajah Octa.
“Maksudmu?” tanya Octa penasaran. Ia memegang bahu Raga, bermaksud menyuruhnya menatap mukanya.
“Tadi aku melihat ada sekeping kaca di sebelah mata kirinya,”
Octa tambah penasaran. Ia mengerutkan kening, sehingga membuat kedua alisnya bertautan.
“Sudahlah lupakan saja! Toh yang penting kau selamat bukan?” Raga tersenyum santai. Di sampingnya, Octa hanya mengangguk pelan walau di hatinya terselip rasa penasaran yang mencuat.
“Kita pulang! Besok aku butuh bantuan untuk Fisika,”
“Stop! Jangan membicarakan Fisika dulu. Aku pusing!”
Raga terkekeh geli mendengar ucapan yang terlontar dari mulut Octa. Sangat diluar dugaannya Octa akan berbicara seperti itu. Sepintar-pintar Octa, Raga yakin ia bisa pusing dengan Fisika.

Selesai


You May Also Like

0 comments